Jakarta, KHPT - 03/7/2025 - Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dibentuk dan disahkan oleh DPR RI pada tanggal 6 Desember 2022, dan ditandatangani oleh Presiden, serta diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. KUHP baru ini tidak langsung berlaku. Berdasarkan Pasal 624 KUHP baru, KUHP ini baru akan berlaku secara efektif pada tanggal 2 Januari 2026, yaitu 3 tahun setelah diundangkan.
Bahwa ada beberapa pasal yang dapat menekan pihak, termasuk dalam hal ini aktivis jurnalistik, mengenai potensi penerapan pasal-pasal pencemaran nama baik dan fitnah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru Nomor 1 Tahun 2023 yang dinilai dapat menyasar kebebasan berekspresi dan kerja-kerja jurnalistik.
KUHP baru ini memang telah mencabut dan mengganti ketentuan pidana yang sebelumnya diatur dalam KUHP lama dan juga beberapa pasal dalam UU ITE yang berkaitan dengan pencemaran nama baik.
Beberapa pasal yang menjadi sorotan utama terkait potensi penyasarannya terhadap aktivis jurnalistik adalah:
- Pasal 433 (tentang penghinaan/pencemaran nama baik) dalam pasal ini mengatur tentang setiap orang yang sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal itu diketahui umum. Ancaman pidananya adalah pidana penjara atau denda.
- Pasal 434 (tentang fitnah), dalam pasal ini merupakan kelanjutan dari Pasal 433. Seseorang dianggap melakukan fitnah jika tidak dapat membuktikan kebenaran dari tuduhan yang dilakukannya, padahal dia diberikan kesempatan untuk membuktikan tuduhannya tersebut, dan tuduhan itu ternyata tidak benar.
Mengapa Dinilai Berpotensi Menyasar Aktivis Jurnalistik?
- Karena adanya Interpretasi atau pemahaman yang luas mengenai adanya Frasa "menyerang kehormatan atau nama baik" bisa diinterpretasikan secara luas dan subjektif, sehingga adanya suatu kritik atau laporan investigatif yang mengungkap dugaan pelanggaran dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik oleh pihak yang merasa dirugikan.
- Beban Pembuktian, yaitu ada mekanisme dalam proses pembuktian kebenaran dalam pasal fitnah, dalam praktik jurnalistik, seringkali sulit untuk membuktikan kebenaran secara mutlak fakta hukum di muka pengadilan, terutama jika informasi didapat dari sumber anonim atau Nara sumber yang memerlukan proses yang panjang. Ini bisa membuat jurnalis enggan melaporkan temuan sensitif.
- Kriminalisasi Kritik kepada aktivis jurnalistik seringkali berperan dalam sosial kontrol, dapat mengkritisi kebijakan publik, kinerja pejabat, atau praktik-praktik yang merugikan masyarakat. Pasal-pasal ini dikhawatirkan dapat digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik dan menghambat fungsi pengawasan media.
- Karena minimnya perlindungan hukum terhadap pelaku pers, meskipun sudah ada dituliskan dalam Undang-Undang Pers yang seharusnya melindungi kerja jurnalistik, namun dalam praktiknya, seringkali kasus-kasus terkait karya jurnalistik diproses menggunakan KUHP atau UU ITE, bukan UU Pers.
Jadi dalam hal ini sangatlah penting bagi para aktivis jurnalistik untuk dapat memahami implikasi pasal-pasal ini dan tetap berpegang pada kode etik jurnalistik serta prinsip-prinsip kehati-hatian dalam setiap laporan atau publikasi, serta dapat melakukan perlindungan diri dalam organisasi kewartawanan, serta adanya Penasehat hukum atau advokasi dalam setiap pemberitaan yang berakibat hukum.
Sumber hukum :
- KUHPidana nomor 1 tahun 2023
- UU ITE
- UU PERS